Gundala merupakan film yang dirilis di bioskop Indonesia pada 2019 silam. Kini, film tersebut dapat dinikmati karena diputar kembali di stasiun TV Indonesia. Cerita dalam film Gundala merupakan adaptasi dari komik hasil karya Hasmi yang rilis tepat pada 29 Agustus 2019 silam.    Gundala disutradarai oleh Joko Anwar dan dibintangi Abimana Arasatya sebagai sosok tokoh utama sang superhero.

Selain Abimana, antagonis utama dalam film ini bernama Pengkor yang diperankan oleh Bront Palarae. Sementara itu, beberapa tokoh penting lain yang juga turut terlibat adalah Tara Basro, Ario Bayu, Rio Dewanto dan masih banyak lainnya.

Lantas, seperti apakah sinopsi film Gundala?

Sancaka (Muzakki Ramdhan) adalah putra seorang pekerja pabrik miskin yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sancaka yang masih muda itu menunjukkan tanda-tanda kecemerlangan dalam mengutak-atik produk listrik, tetapi takut dengan petir dan badai yang seakan selalu mengincarnya. Ayah Sancaka (Rio Dewanto) memimpin rekan-rekan buruh pabriknya dalam sebuah protes terhadap pemilik pabrik, menuntut kenaikan gaji. Kelompok itu bertemu dengan penjaga bersenjata yang disewa oleh pemilik pabrik, lalu protes itu berubah menjadi anarkis. Pada protes kedua, ayah Sancaka dikhianati dan ditikam oleh rekan-rekannya yang telah disuap oleh pemilik pabrik dan meninggal di lengan Sancaka. Sancaka disambar oleh petir lalu meretakkan tameng para pasukan bersenjata sambil memegangnya, lalu saat orang-orang ingin menolongnya, mereka semua terlempar dan tersengat petir dari tubuh Sancaka. Setahun kemudian, ibu Sancaka (Marissa Anita) pergi ke kota lain untuk mencari pekerjaan. Dia berjanji untuk kembali keesokan harinya, tetapi tidak pernah kembali.

Peristiwa ini membuat Sancaka berkeliaran sendirian di jalan-jalan Jakarta, hidup dari mengamen. Suatu ketika ia dikejar dan dipukuli oleh sekelompok anak jalanan, sampai akhirnya ia diselamatkan oleh Awang (Faris Fadjar Munggaran), seorang anak jalanan yang lebih tua darinya. Sancaka tinggal bersama Awang selama beberapa waktu, dan Awang melatihnya agar menguasai ilmu bela diri. Awang juga memberi pesan kepada Sancaka untuk tidak ikut campur dengan urusan orang lain jika dia ingin tetap hidup aman di jalanan. Suatu malam, Sancaka dan Awang berencana untuk berangkat ke Tenggara dengan menaiki kereta yang lewat. Ketika akhirnya ada kereta lewat, Awang melompat ke atasnya, tetapi Sancaka tidak dapat mengejar kereta, dan berakhir ditinggal sendirian lagi.

Tahun demi tahun berlalu, dan Sancaka (Abimana Aryasatya) yang sekarang sudah dewasa bekerja sebagai penjaga keamanan dan mekanik paruh waktu di sebuah pabrik percetakan. Mayoritas anggota legislatif negara yang korup dikendalikan oleh seorang mafia kejam dengan cacat fisik yang dikenal sebagai Pengkor (Bront Palarae). Pengkor memimpin pasukan anak yatim yang dibesarkan sebagai pembunuh dan memanggilnya sebagai “Bapak”. Pengkor mendapat perlawanan dari anggota legislatif Ridwan Bahri (Lukman Sardi). Pengkor dan anak buahnya melakukan rencana jahat dengan cara meracuni persediaan beras nasional dengan serum yang menargetkan wanita hamil, dan dikabarkan bisa mempengaruhi otak janin, membuat anak yang lahir tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, serta mengacaukan moral mereka. Pengkor mengatur agar tindakan memberi racun tersebut terekam oleh kamera video dan dirilis melalui media. Hal ini menyebabkan histeria massal di masyarakat, yang kemudian menuntut anggota legislatif untuk melepaskan penawar racun yang sebenarnya belum teruji dan diformulasikan oleh perusahaan farmasi kepada publik. Perdebatan ini membagi dewan legislatif menjadi dua kubu: satu dipimpin oleh Ridwan dan rekan-rekan ‘Rumah Perdamaian’ yang ingin mengeluarkan undang-undang untuk mendistribusikan penawar racun tersebut, sedangkan kubu lain yang dikendalikan oleh Pengkor menentang pendistribusian penawar racun.

Suatu hari, Sancaka membantu tetangganya, Wulan (Tara Basro) melawan beberapa preman yang mengganggunya. Para preman membalas dengan menyerangnya di malam hari saat ia tengah bekerja di pabrik dan berusaha untuk membunuhnya dengan cara melemparkan Sancaka dari atap pabrik. Setelah tubuh Sancaka jatuh ke tanah, sambaran petir menyambar tubuhnya dan menghidupkannya kembali, serta memberinya kekuatan manusia super.

Wulan memimpin sekelompok pedagang pasar untuk memberontak melawan para preman yang mengganggu mereka. Suatu saat, Sancaka kebetulan berada di sekitar pasar tersebut dan akhirnya bertarung dan mengalahkan 30 orang preman dengan kekuatannya. Wulan meminta Sancaka untuk bergabung dengan kelompoknya agar bisa mempertahankan pasar. Namun, Sancaka menolak, dengan alasan bahwa ia belum yakin bahwa dia adalah pahlawan yang mereka butuhkan.

Para preman membalas dengan cara membakar pasar. Kesengsaraan dan keputusasaan para pedagang pasar meyakinkan Sancaka untuk bangkit membela mereka. Dengan bantuan Wulan, Tedy—adik lelaki Wulan—, dan Pak Agung (Pritt Timothy)—teman Sancaka sesama penjaga keamanan—, Sancaka belajar mengendalikan kekuatannya dan menciptakan kostum darurat untuk memanfaatkan kekuatan petir di dalam dirinya. Dengan itu, Sancaka mulai bertarung dan mengalahkan para penjahat, menginspirasi orang-orang sebagai simbol harapan untuk bangkit dan berdiri bersama untuk mempertahankan diri dari serangan para penjahat.

Salah satu preman membelot dan memberi tahu Sancaka dan Wulan bahwa mereka menyaksikan seorang pemain biola terkenal, Adi Sulaiman (Rendra Bagus Pamungkas) ada di pasar pada saat kebakaran terjadi. Ia mencurigai Adi sebagai dalang dibalik pembakaran itu. Sancaka menemui Adi untuk meminta alasan mengapa ia membakar pasar, tetapi Adi yang tampaknya lemah ternyata adalah seorang yang beringas dan menyerang Sancaka dengan busur biolanya. Tato yang dimiliki Adi mengungkapkan bahwa dirinya adalah salah satu “anak” yatim piatu Pengkor yang berjuluk Sang Penggubah. Saat menghindari serangan Sancaka, Adi tertabrak oleh bus yang kebetulan lewat.

Kepahlawanan Sancaka dan kematian Adi membuat Pengkor dan rekannya (Ario Bayu) marah. Pengkor melepaskan para “anak” yatim piatunya yang ternyata menjadi agen mata-mata di banyak posisi di seluruh negara, diantaranya adalah Sang Pelajar, Desti Nikita (Asmara Abigail); Sang Peraga, Mutiara Jenar (Kelly Tandiono); Sang Perawat, Cantika (Hannah Al Rashid); Sang Penempa, Tanto Ginanjar (Daniel Adnan); Sang Peracik, Jack Mandagi (Andrew Suleiman); Sang Pembisik, Kamal Atmaja (Ari Tulang); Sang Pemahat, Sam Buadi (Aming); Sang Pelukis, Kanigara (Cornelio Sunny); dan Sang Penari, Swarabatin (Cecep Arif Rahman). Para “anak” Pengkor tersebut berhasil membunuh sejumlah anggota Rumah Perdamaian. Namun saat Swarabatin hendak membunuh Ridwan, Sancaka muncul dan mengalahkannya.

Dewan legislatif akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) penawar racun beras itu yang membuat masyarakat gembira. Namun, ketika hasil tes dari laboratorium Rumah Perdamaian sampai di tangan Ridwan, baru diketahui bahwa Pengkor telah menipunya selama ini. Beras yang telah terkena racun sebenarnya tidak mematikan, tetapi penawar racunnya justru mematikan. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa perusahaan farmasi yang memproduksi penawar racun tersebut ternyata dimiliki oleh Pengkor. Ridwan mencoba menghubungi Sancaka untuk memintanya menghentikan distribusi penawar racun, tetapi Pengkor dan “anak-anak”nya telah terlebih dahulu menyerang Sancaka di pabrik sebelum ia dapat pergi untuk menghentikan pendistribusian penawar racun.

Pertempuran Sencaka dengan para “anak” Pengkor berlanjut hingga di atap pabrik, tempat Pengkor menahan Pak Agung, Wulan, dan Tedy dengan tujuan membunuh mereka di depan Sancaka. Kamal sempat menghipnosis Sancaka, namun teriakan Wulan menyadarkannya. Sancaka akhirnya berhasil melepaskan kekuatan petirnya dari dalam dirinya dan mengalahkan sebagian besar “anak-anak” Pengkor. Ia berhasil menyelamatkan Wulan dan Tedy, tetapi Pak Agung dibunuh oleh salah satu “anak” Pengkor. Sancaka pun membunuh hampir semua “anak-anak” Pengkor, kecuali Kanigara yang berhasil kabur. Ketika Pengkor hendak menyerang Sancaka dari belakang, Ridwan datang dan menembak Pengkor dengan pistol. Ketika tengah sekarat, Pengkor sempat menyatakan bahwa dialah satu-satunya yang berhasil menyatukan rakyat dan dewan legislatif.

Sancaka bergegas menghentikan distribusi obat penawar itu. Sancaka menyusul sebuah mobil distribusi dan mencoba menghentikannya. Namun, ia justru ditembak oleh sang pengemudi. Untungnya, mobil tersebut secara supernatural dihentikan oleh seorang wanita misterius (Pevita Pearce). Sancaka pun memegang sebuah botol obat penawar, dan menggunakan kekuatan petirnya untuk memecahkan semua botol obat penawar racun yang ada di kota.

Sementara itu, rekan Pengkor membongkar sebuah makam kuno yang terkubur di dalam dinding museum kota sambil membawa sebuah wadah tersegel berisi kepala orang tua yang telah terpenggal dari tubuhnya. Menggunakan darah Sancaka yang ia ambil sebelumnya dari salah satu perkelahian, ia menggabungkan tubuh dan kepala tersebut dalam wadah tersegel itu. Proses tersebut membangkitkan Ki Wilawuk (Sujiwo Tejo), iblis yang kuat dari zaman kuno. Rekan Pengkor tersebut mengungkapkan dirinya sebagai Ghazul dan mengatakan kepada Ki Wilawuk bahwa musuh telah datang. Ghazul memanggil sang musuh tersebut sebagai “Gundala” (‘Guntur’ dalam bahasa Jawa kuno). Ki Wilawuk memerintahkan Ghazul untuk mengumpulkan tentaranya, karena perang besar akan datang.

Dalam adegan mid-credit, Gundala bertemu Ridwan di atap dan mengucapkan terima kasih atas kostum pemberiannya yang telah di-upgrade dan lebih canggih. Ridwan mengatakan bahwa kostum baru itu berasal “dari rakyat”. Dari kejauhan, wanita misterius yang sebelumnya menghentikan mobil pembawa obat penawar racun tengah mengamati mereka. Ia disebut oleh rekannya sebagai pahlawan super Sri Asih.

Sumber Wikipedia

By Pakdhul

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *